Ketika Malaikat Menamparku
![]() |
Photo By : Zooro (Devianart.com) |
Semilir
angin yang menjamah halus jendela kecil mesjid itu nampaknya sudah tak lagi
sudi mengelus - elus ketidak-karuanku. Sungguh, ini tidak mudah. Aku benar -
benar berantakan. Gelas yang diberikan kakek bersorban hijau itu tak sengaja
pecah terhantam tanganku yang tak bisa diam seperti binatang buas yang dikurung
saja. Secepatnya, aku bergegas meninggalkan mesjid walau dengan arah yang bias,
jalan raya yang pudar, aku berlari sempoyongan menghantam setiap penghalang;
Pohon, tiang bahkan jendela rumah orang menyertai setiap goresan luka yang
terukir di beberapa bagian tubuhku. Itu adalah perjalanan yang teramat panjang,
dan serpihan kaca yang bersemayam di kepala dan tanganku masih menyertai setiap
langkahku menelusur jalan yang entahlah, sepertinya buntu. Ingatanku rusak di
terjang tekanan yang juga entah dari mana asalnya.
Dan ahh kini aku sedikit siuman. Aku ingat itu adalah
malam ke-23 di bulan suci Ramadhan, dan saat itu aku tengah berdiri tepat di
depan warung merah tua milik seorang paruh baya, di sampingnya tersedia kursi
agak panjang berkaki kayu keropos dan meja yang juga telah berusia senja. Tak
jauh dari warung tersebut, ada sekerumunan laki - laki yang sedang duduk -
duduk di kursi sofa. Tapi tunggu, "halaman rumah siapa itu?"
Dan mereka yang duduk - duduk itu menggemakan jenis
binatang. Anjing misalnya. Sedang, disitu tak kujumpai satu pun anjing. Pun,
ketika aku cukup lama menengok kiri dan melirik kanan tak kujumpai seekor pun
anjing, dan tak ada seorang pun kawannya yang setidaknya memiliki wajah agak
mirip binatang.
"Ini rokoknya de". Ibu pemilik warung itu
mengulurkan beberapa batang rokok kretek yang sebelumnya sudah ku bayar. Kau tau?
ternyata pemilik warung itu juga seorang perokok. Dan dia menjual beberapa
varian air keras. Mulai dari harga 50rban hingga jutaan.
Mataku masih dituntun rasa penasaran dan terpusat tepat
pada segelas air yang berada di atas meja yang menghadap ke sekumpulan laki -
laki berumur kira - kira 17-19 tahun itu. Di antara mereka ada yang menggunakan
sarung dan peci putih. Aura mereka kala itu telah menggigit lututku kencang
sampai gemetar, namun langkah kaki ku masih lancang mendekati para remaja itu.
Aku yakin dalam gelas itu bukanlah air biasa. Dan aku yakin mereka sedang tidak
di jalan yang baik menurut agamaku. Baiklah aku katakan saja, mereka sedang
berlaku bejat, melanggar hukum tuhan. Padahal bukankah semua hukum yang tuhan
buat itu untuk kebaikannya sendiri? cobalah renungi, mana efek yang lebih
dominan timbul ketika kau menerobos hukum tuhan semacam maksiat? atau meminum
arak misal? Baik atau buruk? Ahh aku hanya tak mau ini menjadi suatu sudut
pandang sepihak. Namun siapa yang akan menjawab pertanyaan ku? Aku hanya sedang
berdialog dengan diriku sendiri.
Lalu aku menyalakan rokok seraya masih seolah mengintai
mereka, sebetulnya bukan mengintai, aku hanya ingin tahu lebih rinci apa yang
sedang mereka kerjakan. Jiwa - jiwa itu seakan tak tenang, dengan gelagat
risih, bahkan seperti yang ingin berontak atau berperang. Matanya merah,
hatinya marah. Satu persatu mereka bergiliran meneguk gelas itu. Setelah itu
dahiku tiba - tiba menyusun keringat dingin bersamaan dengan hembusan angin
yang seakan melumpuhkan tubuhku, aku benar - benar merasa lemah, energiku terhempas,
rokok di tanganku terlepas, dan setelah itu seluruh tubuhku jatuh tergeletak di
atas jalan mungil yang berkerikil.
Astagaa, aku larut dalam ingatan itu, untung saja jalan
raya ini sedang sepi. Dan sungguh, aku masih belum menemui akhir dari malam yang
bajingan ini. Masih gelap dan menyeramkan, namun aku sudah tidak berlari, kini
sepasang kaki yang telanjang ini membimbingku perlahan ke suatu gerombolan
orang di persimpangan jalan didepan gedung kusam yang temboknya tampak dipenuhi
tulisan, mungkin itu graffity. Tapi jika benar, itu adalah graffity yang paling
mengangguku. Manusia mana yang telah mengotori tembok - tembok ini? mereka
telah semena - mena mengikis kualitas tempat ini dan apalagi, lihatlah kalimat
- kalimat kasar yang mereka tulis di gedung abu itu, bagiku itu telah
menunjukan bahwa si pengotor tembok ini tak lebih hanyalah berandal dan cikal
bakal penganut premanisme (vrijman dalam bahasa belanda) yang sok jago, sok
kuat dan ah sudahlah.. atau mungkinkah mereka ini titisan bangsa vandal di
zaman romawi kuno?" Tidak, itu terlalu kejauhan.
Baiklah, lupakan soal tembok itu, karena setidaknya
penglihatanku saat ini tidak separah tadi. Walaupun sebetulnya aku lagi - lagi
tak mengerti mengenai semua yang telah kulalui tadi dan ingatanku tidak sedang
baik - baik saja, bahkan kini aku tak ingat awal terjadinya malam yang tengah
ku hadapi ini. dan oh tidak.. kakiku tiba - tiba menghantam lagi sesuatu, botol
miras!! Dan semua botol yang tak sengaja aku hantam itu pecah, lantas
kepingannya menebas telapak kaki kananku, dan itu membuatnya berdarah - darah
cukup deras. Kepalaku pusing, sepertinya ini akibat darah merah pekat yang
terus menerus bercucuran ini. Belum lagi di kepala, tangan dan beberapa bagian
tubuh lain.
Lagi - lagi aku tenggelam dalam ketidaksadaran,
ketakutan dan rasa penasaran yang masih menimbun kepalaku. Aku hanya menghirup
pekat dan memandang gelap selama satu minggu, atau mungkin satu jam atau boleh
jadi satu hari. Aku tidak benar - benar mengetahuinya.
"Hey hey, ini minum dulu"
Dengan mata setengah terbuka, aku lihat seorang pak tua
menyodorkan air putih padaku, aku bangun dari tidur, dan aku kira kekacauan dan
rasa lemas tadi seketika musnah, suasananya sedikit hening, hanya bunyi langkah
jarum jam yang diiringi lantunan pelan nan merdu ayat suci alquran, dan suara
orang yang sedang berdzikir. Diluar, kudengar ada suara gesekan sandal yang
boleh jadi bersumber dari seseorang yang hendak masuk ke ruangan ini. Sungguh
ini tak dapat ku pahami, aku rupanya telah kembali lagi ke mesjid itu. Tapi aku
senang.
Kiranya semua masalah yang sedang aku hadapi akan luluh
lantah diterjang bunyi - bunyi ayat suci yang sedang kudengar, benar - benar
pelan, menelan satu per satu rasa bimbang yang aku kantongi. Kakek bersorban
hijau itu mengelus - elus rambutku yang berantakan, ia mengambil sarung
berwarna abu - abu muda dengan motif kotak - kotak dan memberikannya kepadaku
tanpa sepatah kata pun.
Tapi, setelah itu kepalaku seperti ditendang sangat
kencang, mungkin ini terlalu berlebihan, tapi seperti itulah, penglihatanku
kabur, dan semua gambar yang terekam dalam mata ku menjadi buram melebihi jenis
film 144p bahkan.
Tiba - tiba kudengar suara entakan kaki, meriam atau
mungkin bom, dan bunyi - bunyi peluru yang menembus pintu rumah di sekitar
sana, seperti itulah aku membayangkannya. Tapi, aku tak bisa meyakinkan
mengenai apa jenis senjata dan jenis kelompok manusia yang malah bermain
senjata api dan bom di bulan yang suci ini. Seketika, aku berfikir bahwa itu
adalah Nazi. Aku pernah mendengar kabar bahwa hitler membenci rokok dan bahkan
kelompoknya kerap kali menerbitkan jurnal advokasi anti rokok. Apa hitler ingin
membunuh perokok sepertiku? Apa kelompoknya akan mencekik leherku dan
menghancurkan kepalaku dengan berkali - kali tembakan? Akankah kulitku ia buat
untuk menyeka senjatanya agar senantiasa mengkilap? Ya tuhanku, aku benar -
benar tak ingin mati sekarang.
"Bangsaatt". salah seorang dari mereka
berteriak, dengan mimik wajah yang murka, tapi dia tidak menggunakan seragam
Nazi. Bodohh, aku baru sadar bahwa hitler sudah lama mati. Ini bukan hitler dan
gerombolannya, mereka hanya pemuda yang sedang asyik menatap tajam layar
handphone nya. Kurasa mereka sedang bermain game, baiklah ini tak perlu terlalu
aku hiraukun, bukankah hiburan itu memang watak yang manusiawi?
"Anjiingg". Ada lagi yang berteriak, seperti
kesakitan, padahal dia sedang duduk santai, tapi memang tubuhnya melambangkan
ketidaksantaian, mereka menderita. Yang menjadikannya tidak lazim, ini adalah
malam dimana orang - orang sedang berburu Lailatul Qadar (satu malam penting
yang terjadi pada bulan Ramadan, yang dalam Al Qur'an digambarkan sebagai malam
yang lebih baik dari seribu bulan)
Sementara itu, ketika aku melirik ke arah lain,
tepatnya di rumah berwarna biru muda. Ada lagi segorombolan pria yang sedang
duduk melingkar, memutarkan gelas berisi tuak. Mereka tertawa keras seakan air
tuak itu bisa mengantarnya ke suatu kebahagiaan yang absolut. Dan sama, mereka
juga menggemakan nama anjing dan babi. Aku heran, sebetulnya pernahkah dia
berpikir mengapa harus melakukan perbuatan semacam itu?
Dan tak lama, kudengar gema takbir di setiap sudut
gelap wilayah itu, sepertinya besok adalah idul fitri. Dan bersamaan dengan itu
aku baru terasadar bahwa aku sudah melewati beberapa hari semenjak aku
tergeletak di warung tukang rokok itu. Namun, nuansanya tetap sama; Suara
anjing, bangsat, babi dan minuman keras. Dan ah... kepalaku kembali pusing,
pecahan kaca dihidung dan mataku kembali menyalurkan rasa sakit yang benar -
benar membuatku resah. Aku ingin menangis dan berteriak kencang, sungguh.
Saat itu, terbesit dibenakku untuk mengajak mereka
setidaknya meluangkan waktu satu kali saja ke mesjid dan membaca alquran. Atau
paling tidak mereka mengucap solawat untuk sang nabi, atau melantunkan takbir
dalam satu putaran saja, atau sekedar datang ke mesjid! Sekali saja, bersamaku.
Namun boleh jadi mereka sudah sekian kali menolak untuk
membaca al-quran, dan mereka telah berbulan - bulan menjadikan kitab sucinya
hanya sebagai pajangan. Bahkan bertahun - tahun? atau baru satu tahun? atau 5
tahun? atau lebih?
Aku benar - benar telah suudzon pada makhluk berlabel
paling mulia itu, tapi sudahlah aku tak peduli.
Aku benar - benar seperti mengalami gejala sakit
vertigo saja, lagi - lagi aku berlari tak karuan dikemas rasa depresi yang
sudah maximal. Dan lagi - lagi kerumunan orang yang mabuk - mabukan, bahkan
bercumbu dengan pasangannya di beberapa mobil mewah yang diparkir dipinggir
jalan, anak - anak muda yang kasar, wanita - wanita sexy yang dengan bangga
membagikan lekukan tubuhnya, mungkin mereka pikir itu akan menarik perhatian,
cinta dan pengakuan positif, padahal.. baiklah silahkan nilai sendiri. Sungguh,
masih lebih banyak yang mabuk - mabukan daripada takbiran menjelang hari raya.
Sebetulnya, aku bisa saja meludahi mereka beberapa kali, tapi aku tidak percaya
diri, aku rasa itu perbuatan sok suci dan aku merasa tidak perlu melakukan itu.
Sebenarnya apa yang harus aku lakukan? padahal tuhan
mengatakan "suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka)
dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu.
Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh
Allah)." (QS. Luqman: 17). Aku ingat ayat ini, dulu aku sempat mengaji
hingga usia 11 tahun. Dan ayat ini kerap kali aku dengar dari guru ngajiku.
Artinya, aku tak perlu takut dikatakan sok suci dan ini adalah suatu kewajiban.
Baiklah nanti aku akan cegah makhluk - makhluk itu. Tapi mengapa harus nanti?
Apa alasan tuhan untuk tidak mengambil nyawaku satu jam lagi? Bahkan aku bisa
mati sepuluh menit lagi. Tapi aku benar - benar tak sanggup berkata - kata pada
mereka.
Aku kembali melanjutkan perjalanan hingga tiba di suatu
pertigaan, gedung - gedung yang ada disitu terlihat kumuh, lampu lalu lintas di
depanku menyala dan berwarna merah semua. Setiap sudut adalah gulita dan satu -
satunya cahaya hanya lampu lalu lintas di atasku.
"Woi anjingg" tiba - tiba aku melihat kira -
kira ada sepuluh orang yang berlari ke arahku. Aku hanya terpaku, seluruh
badanku guncang dan bahkan hampir saja aku kencing di celana jeans robek -
robek kesayanganku ini. Ada yang membawa palu, kayu bahkan pisau. Mulutku hanya
membeku, aku ingin berdoa jika memang ini hari kematianku, tapi sungguh
sedikitpun aku tak bisa bergerak. Hanya air mata yang kian menggenang di
wajahku. Aku ingin menyebut nama tuhanku, aku ingin meminta maaf pada orang
tuaku.
Mereka semakin mendekat, dua buah pisau dilemparkan ke
arah dadaku. Kayu dan palu bergantian menghantam mata, kepala dan hingga
seluruh tubuhku, aku masih tak bisa berucap. Aku hanya menangis dan menangis
dan menangis. Darah - darah merah kental keluar seenaknya dari tangan,
punggung, leher, perut hingga kepalaku.
"Ini adalah seni dari lorong neraka. Anggap saja
ini pemanasan menjelang di lemparkannya kau ke alam kubur yang penuh akan nestapa,
bukankah kau tak anggap tuhan ada? bukankah kau orang pemberani? seorang jagoan
yang sudah terbiasa menantang hukum tuhan?"
Aku disiksa hingga jatuh bangun, sepatu yang mereka
pakai menghujam keras kepalaku, aku terhempas, terjatuh dan bangkit lagi, lalu
terjatuh lagi, bangun lagi dan kini aku kesulitan untuk bangun, tapi aku masih
ingin hidup, aku masih berusaha untuk bangun lagi, Teriakanku keras sekali
tertimbun dalam sanubari. Tangisanku benar - benar telah pada titik sempurna.
Semua bagian tubuhku telah lumpuh. Semua energiku lenyap. Dan tiba - tiba aku
terbangun lagi dengan penglihatan yang benar - benar buram, aku kira ini gejala
kebutaan, tapi seketika penglihatanku membaik, aku melihat meja belajar, lemari
dan jendela yang terbuka, ini masih malam hari dan ini adalah kamar tidurku.
Brengseek, ini hanya mimpi buruk. Tapi tunggu, aku
melihat seseorang, atau bukan orang, itu seperti raksasa tapi tidak begitu
besar dia membawa tongkat yang tinggi, berpakaian hitam, tapi aku tak dapat
melihat secara jelas wajahnya, lampu di kamar tidurku mati yang tersisa tinggal
cahaya di halaman rumah.
Makhluk itu menghampiriku pelan. "siapa
kamu?" dia bertanya padaku.
"Jelaskanlah dengan tuntas tentang dirimu",
nadanya menjadi tinggi, seperti orang yang murka.
"Aku? .. Aku seorang remaja yang .. anti ke
mesjid, aku tak pernah merenungi siapa yang nanti akan menyalatkan jasadku,
menguburkan dan memandikanku. Ketika aku ..
"Bodoh.. Padahal mereka yang biasa dimesjid lah
yang umumnya mengerti tata caranya, dan adakah yang sudi menggotong jenazahmu
kelak? dan apakah teman - temanmu yang pemabuk yang jagoan itu akan mendoakan
mu? Apa mereka akan ikut menyalatkanmu? Memandikan jenazahmu?" Makhluk itu
memotong perkataan ku, lalu dia kembali menyuruhku melanjutkan.
"Ketika adzan berkumandang, aku tak pernah membaca
doa setelahnya, bahkan aku seringkali kesal mendengarnya, kadang aku adalah
sesungguhnya penjahat bagi para perempuan, ketika semua itu kulakukan aku tak
pernah merenungi bagaimana jadinya jika orang tuaku mengetahuinya, aku tak
takut dengan tuhan, aku membohongi diriku sendiri. Sembunyi - sembunyi membeli
sebotol minuman dan meneguknya dengan bangga, setiap kali aku mabuk, aku merasa
semua orang dapat aku ajak untuk berkelahi, dan ketika aku mabuk, aku rasa
semua orang takut pada ku dan aku senang ketika melihat orang - orang seperti
itu.
"Aku hanya berpuasa 4-5 kali setiap tahunnya,
ketika malam takbir tiba, itulah puncak kemenangan bagi kemaksiatan, aku tak
memperdulikan hukum tuhan, siksa kubur, siksa neraka dan aku tak malu pada
Allah SWT yang telah memberiku hidup dan harta yang tak terhingga yang biasa ku
perbelikan untuk membeli barang haram. Aku biasa berkumpul di pinggir jalan,
berteriak, kadang kala aku berkelahi walau entah untuk apa, aku rasa itu sebuah
kebanggaan tersendiri agar nantinya menjadi suatu afirmasi dari orang lain bahwa
aku adalah jagoan, aku kuat, aku berani dan aku tukang mabuk, kadang aku
mengotori tembok rumah milik orang. Yaallah ini gila.. aku benar - benar
seperti itu, aku tak pernah merenungi kematianku kelak. "Tapi sebenarnya
siapa kamu?" Tanyaku pada makhluk itu. "Apa kau ini malaikat? Apa aku
akan benar - benar mati kali ini? ".
"Dan apa bedanya aku dengan binatang yang hanya
memilih mengikuti kesenangan yang benar - benar tabu dengan mengesampingkan
hukum - hukum agama, moral dan kesehatan". Ini gila, tapi sesungguhnya
penyesalanku biasanya tak utuh, ini hanya selintas. Esok hari aku mungkin akan
melakukan perbuatan bejat itu lagi.
Tunggu, mana makhluk tadi? Yaampun, dia kini lari ke
arahku cepat sekali, bersama jubah hitamnya, wajahnya masih belum nampak jelas,
dia menamparku sangat kencang, tiba - tiba gelap lagi, hanya tangan makhluk itu
yang terlihat, dia menamparku lagi, mengangkat tongkatnya dan memukulkannya ke
arah mata kananku. Sakit sekali, dengan keadaan yang tersiksa ini aku berpikir
bahwa dia ini Izrail.
Dia menjambak rambutku dengan penuh amarah, aku harus
segera menyebut nama Tuhanku, tapi tak bisa, lidahku seperti kelu. Sekujur
tubuhku dingin, mungkin hanya tinggal leherku yang masih kurasa hangat, lalu
setelah itu aku sedikit bisa membuka mulut, dan kini aku membukanya lebar, aku
berteriak menyebut nama Tuhanku. "Ya Allah....." Aku berteriak,
sangat keras, bersama tangisan yang juga deras, sebetulnya diriku tak seperti
yang dalam mimpi itu, namun aku beberapa kali hampir saja terjerumus ke dalam
lingkaran orang - orang semacam itu. Aku bangkit dari kasur tidurku dan kini
aku benar - benar bangun dari kedua mimpi itu, Sesungguhnya ini bukan sekedar
mimpi. Ini tamparan bagiku, mungkin boleh jadi Malaikat sedang menamparku lewat
mimpi tadi. Entahlah..
Ini suatu peringatan bagiku yang masih saja bergelut
dengan kefanaan. Padahal dibulan suci kemarin, Tuhan melimpahkan demikian
banyak rahmat dan keberkahan. Ya Allah, aku harap mimpi tadi adalah tanda kasih
dan sayang darimu. Aku menyesal, saat bulan suci sedang menjengukku , tak
satupun hari aku pergunakan dengan sebaik mungkin.
Kedua tanganku ini memegang erat kepala yang sebelumnya
kukira sudah lembek dan hancur disiksa gerombolan orang tadi, aku benar - benar
tidak menyangka bahwa Allah masih memberikanku nyawa, memberiku nikmat hidup,
memberi waktu untuk kedua orang tuaku, teman dan keindahan alam yang tak pernah
ku rawat. Aku bersujud, memohon ampun.
Aku menggesek mata, duduk dan benar - benar tegang,
jantungku berdebar kencang, dan sangat kencang, lagi - lagi air mataku lepas
landas tak tertahan. Setidaknya, setelah ini, aku akan sadar dan teramat
menyesal, sudah sekian lama Al-quran ku terbengkalai lusuh dan mendekam di
dalam lemari kamar, sudah sekian banyak waktuku terbuang tanpa memikirkan bahwa
masih teramat kecil amalan - amalan yang ku lakukan, dan sungguh, masih buram
pahala yang ku genggam. Dan apa alasan tuhan untuk tidak menyiksa ku dalam
kubur? atau dalam neraka-Nya?
Ya Allah, adakah aku masih jadi hambamu? Yallah,
maafkan aku.
ABOUT THE AUTHOR

Hello We are OddThemes, Our name came from the fact that we are UNIQUE. We specialize in designing premium looking fully customizable highly responsive blogger templates. We at OddThemes do carry a philosophy that: Nothing Is Impossible
0 comments:
Post a Comment